Saat
itu kamu terus memperhatikanku semenjak pintu kafe kubuka. Kamu yang
sedang bercanda riang dengan teman-temanmu, berhenti kemudian menatapku
intens. Jujur aku merasa jengah dengan tatapan itu. Aku berjalan
melewatimu, menuju tempat duduk favoritku, di pojok ruangan dengan
sepasang kursi dan sebuah meja yang menghadap jendela. Kamu masih terus
menatapku, kali ini dengan tatapan penasaran.
Selasa, 22 Januari 2013
Pesawat Harapan
"syuuuuuuuuuuuuuussssssss" suara pesawat terbang menjauh. Pesawat itu
lepas landas menuju udara bak burung yang terbang bebas. Aku
memandanginya dengan tatapan sendu. Dulu,dulu sekali,ada masanya dimana
akubegitu mencintai pesawat. Pesawat selalu mengingatkanku tentang ayah.
Ayah yang kubanggakan. Ayah selalu berkata bahwa pesawat adalah
pengabul harapan. Aku kecil tak pernah mengerti apa yang ayah katakan.
Ayah yang seorang pilot memang mencintai pesawat. Saking cintanya,ayah
lebih memilih terbang dengan pesawat di saat ibu meninggal. Hal yang
saat itu kubenci. Aku menganggap ayah tak realistis.
Aku, Dia, dan Hujan
Sedari tadi aku masih belum beranjak dari tepi trotoar ini. Orang-orang
berlalu lalang dengan memegang payung di tangannya. Beberapa orang ada yang berani menembus hujan
yang cukup lebat. Aku memilih menunngu hujan ini reda. Tak ada salahnya bukan
sesekali orang harus mengalah pada tantangan. Buat apa bersusah-susah menembus
hujan,toh suatu saat hujan pun kan berhenti.Yah,aku menganggap hujan adalah tantangan.
Bukan khayalan yang biasa ditulis oleh penyair-penyair pemuja hujan. Hujan adalah
tantangan untuk mengetahui seberapa jauh aku mampu melupakan pahit itu. Rasa pahit
yang melekat dalam hatimu,melebihi rasa pahit biji kopi. Dan kebodohanku telah menggoreskan rasa pahit itu di salah
satu sudut hati.
Langganan:
Postingan (Atom)