CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 22 Januari 2013

[BeraniCerita #1] Enam Tiga Puluh

06.30 @Roemah Kopi,

Saat itu kamu terus memperhatikanku semenjak pintu kafe kubuka. Kamu yang sedang bercanda riang dengan teman-temanmu, berhenti kemudian menatapku intens. Jujur aku merasa jengah dengan tatapan itu. Aku berjalan melewatimu, menuju tempat duduk favoritku, di pojok ruangan dengan sepasang kursi dan sebuah meja yang menghadap jendela. Kamu masih terus menatapku, kali ini dengan tatapan penasaran.

Pesawat Harapan

"syuuuuuuuuuuuuuussssssss" suara pesawat terbang menjauh. Pesawat itu lepas landas menuju udara bak burung yang terbang bebas. Aku memandanginya dengan tatapan sendu. Dulu,dulu sekali,ada masanya dimana akubegitu mencintai pesawat. Pesawat selalu mengingatkanku tentang ayah. Ayah yang kubanggakan. Ayah selalu berkata bahwa pesawat adalah pengabul harapan. Aku kecil tak pernah mengerti apa yang ayah katakan. Ayah yang seorang pilot memang mencintai pesawat. Saking cintanya,ayah lebih memilih terbang dengan pesawat di saat ibu meninggal. Hal yang saat itu kubenci. Aku menganggap ayah tak realistis.

Aku, Dia, dan Hujan

Sedari tadi aku masih belum beranjak dari tepi trotoar ini. Orang-orang berlalu lalang dengan memegang payung di tangannya. Beberapa orang ada yang berani menembus hujan yang cukup lebat. Aku memilih menunngu hujan ini reda. Tak ada salahnya bukan sesekali orang harus mengalah pada tantangan. Buat apa bersusah-susah menembus hujan,toh suatu saat hujan pun kan berhenti.Yah,aku menganggap hujan adalah tantangan. Bukan khayalan yang biasa ditulis oleh penyair-penyair pemuja hujan. Hujan adalah tantangan untuk mengetahui seberapa jauh aku mampu melupakan pahit itu. Rasa pahit yang melekat dalam hatimu,melebihi rasa pahit biji kopi. Dan kebodohanku  telah menggoreskan rasa pahit itu di salah satu sudut hati.