Saat
itu kamu terus memperhatikanku semenjak pintu kafe kubuka. Kamu yang
sedang bercanda riang dengan teman-temanmu, berhenti kemudian menatapku
intens. Jujur aku merasa jengah dengan tatapan itu. Aku berjalan
melewatimu, menuju tempat duduk favoritku, di pojok ruangan dengan
sepasang kursi dan sebuah meja yang menghadap jendela. Kamu masih terus
menatapku, kali ini dengan tatapan penasaran.
Aku mencoba duduk membelakangi tatapanmu, namun aku tak dapat melihat jendela kafe kesukaanku. Akhirnya aku duduk dengan kamu yang dapat melihatku dari samping. Ekor matamu masih terus mengikuti gerak-gerikku. Aku yang mulai risih, mencoba tak menghiraukanmu. Namun tatapan dari mata biru itu sepertinya punya kekuatan magis untuk membuat badan memutar otomatis menghadapnya. Aku penasaran, mengapa kamu terus melihatku?. Dan di sana, diantara keriangan canda tawa, kamu masih menatapku aneh namun penuh senyuman. Aku segera berbalik dan dengan cepat membuka menu minuman di depanku. Aku terlalu malu, kamu memergoki diriku. Aku terlonjak kaget saat seseorang yang ternyata pelayan telah berdiri di hadapanku dan menanyakan pesanan. Sepertinya pelayan ini telah berdiri di depan meja, sejak aku melakukan aksi curi pandang padamu. Panas menyebar di pipiku, bahkan geraian rambut hitam panjangku tak mampu menyembunyikannya. Saat ini pipiku sudah semerah muda blouse yang kupakai. Kudengar suara tawa keras, dan dari sudut mataku, aku tahu itu tawamu. Aish, Aku bertambah malu. Pelayan itu kembali menanyakan pesananku. Aku butuh sesuatu untuk mendinginkan pipi yang panas ini. Dan mungkin secangkir vanilla latte dingin cukup untuk pipi ini.
06.30 lain @ memori kita,
Setelah
hari itu aku mengenalmu, Rama. Nama yang sama dengan tokoh pewayangan
dan kamu memang tampan. Kamu bercerita tentang dirimu yang seorang
fotografer di majalah fashion. Aku pernah bertanya padamu,"kau cukup
tampan untuk menjadi seorang fotomodel dibanding fotografer". Saat itu
dirimu tersenyum,dan mengatakan bahwa aku ini polos. Aku mengerenyit tak
mengerti. Lalu kamu balik bertanya," Bagaiman dengan dirimu?. Kamu pun
cukup cantik dan memang di mataku kamu benar-benar cantik untuk menjadi
seorang fotomodel.". Aku terdiam membisu. Aku memikirkan pertanyaan dan
tatapan Rama. Ia memang pandai bermain mata. Saat pertama kali
bertemu,tatapannya adalah tatapan hangat seorang yang mungkin ingin
membiarkanmu masuk di kehidupannya. Rama seolah memberitahuku sesuatu
melalui tatapan ini. Kami saling berpandangan lama. Dan saat itu sesuatu
membentur kesadaranku. Aku tahu tatapan itu. Kamu memberitahuku bahwa
kamu telah memilih hidupmu. Ya, sebuah pilihan. Kita berdua tahu bukan
"harus" menjadi apa, tapi "ingin" menjadi apa diri kita. Bukan suatu
keharusan yang menjadi penentu hidup kita. Tapi keinginan kita yang
membuat hidup ini terarah. Karena ini hidup kita, dan sutradara dari
film bernama kehidupan itu kita. Sama dengan kita saat ini. Bukan
"harus-mu" yang membuat kamu mengenalku saat itu,saat kita pertama kali
bertemu,saat aku menanti seorang pria yang harus berjodoh denganku, tapi
"ingin-mu" yang membuat kamu mengenalku sebagai wanita yang menjadi
jodohmu.
"Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma."
Nice picture from Vectorstock
wow, jadi mereka lesbong ya mba? :o
BalasHapushah??? ga,. darimana nya ya mbak bisa ada kesimpulan gitu? Normal mbak,. ^_^
Hapussusunan kalimatnya anggun mbak.. :)
BalasHapusmakasih dah ikutan GA beranicerita :)
Pengen belajar mbak,. mudah-mudahan dengan tantangan GAberanicerita ini jd terasaha, :D
HapusSukses GA-nya ya Mba... :)
BalasHapusmudah mudahan,. makasih,. ^_^
HapusKalimatnya mengalir dengan indah mba :)
BalasHapusMakasih, ^_^,. ini masih tahap belajar,hehe
HapusTentang sebuah pilihan ya. Sukses ya beranicerita-nya.
BalasHapus*fontnya kecil-kecil sekali :D
Makasih,. :),. font-nya bawaan template,.
Hapusmengalir bahasa nya. bagus (y)
BalasHapuskeren diksinya duh runtut sama rapi ,, sukses buat GA nya yaa kak :)
BalasHapus